PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN
PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DARI ASPEK GANGGUAN HAMA
Oleh: Rifa’Atunnisa, S.Hut
A.
Latar Belakang
Sesuai dengan mandat UU No.41
Tahun 1999 mengenai pembagian hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan
dalam pasal 6 dan penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan pada
pasal 6 ayat 2 salah satunya adalah penetapan hutan produksi. Dalam pengelolaan
hutan produksi dapat dibangun Hutan Tanaman Industri sesuai dengan kriteria dan
peraturan perundangan yang berlaku.
Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan
tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan
bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu (Dephut 2009). Dalam
pelaksanaan pembangunan HTI yang kecenderungannya adalah homogen atau
monokultur, menyebabkan banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang menjadi
penyebab menunnya jumlah produksi.
Permasalahan seperti hama, penyakit dan gulma merupakan beberapa
permasalahan yang sering ditemui di pertanaman HTI. Selain dapat menyebabkan
penurunan produksi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas produk akhir yang
dihasilkan. Oleh karenanya perlindungan hutan terhadap gangguan-gangguan hutan
tersebut mutlak diperlukan untuk kelestarian hasil produksi.
B.
Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha
untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama
dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan
awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan
perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem
yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas.
Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem
silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah
cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur
memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah
dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya
menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih
diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang
potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan
dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil (Sumardi dan Widyastuti 2004).
C.
Gangguan Hama
Dikatakan sebagai hama hutan
apabila serangga dan hewan menimbulkan kerusakan ekonomis yaitu terjadi
kerusakan pada pohon-pohon di hutan yang menjadi makanan atau tempat tinggalnya
sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik atau pengelola hutan.
Hama hutan tidak hanya terdiri dari hewan serangga saja melainkan termasuk
tikus, nematoda dan berbagai satwa lainnya. Pengusahaan HTI memungkinkan
terjadinya perubahan keadaan alam yang ada menjadi suatu hutan yang
diintervensi oleh manusia secara intensif atau merupakan hutan buatan manusia
(man made forest). Hutan buatan manusia ini menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan ekosistem. Berbeda dengan hutan alam yang telah mencapai
klimaks, keseimbangan populasi serangga dan hewan telah mencapai dinamika yang
hampir stabil sehingga kemungkinan terdapanya hama sangat kecil bahkan mungkin
tidak ada.
Hutan
dengan komunitas ciptaan manusia ini dapat menimbulkan kerugian dengan
kemungkinan yang ada yaitu kemungkinan yang pertama jika ternyata komunitas
buatan ini akan merugikan populasi serangga dan hewan maka sangat mungkin akan
berpindah ke tempat lain atau bahkan akan mengalami kepunahan, atau kemungkinan
kedua jika populasi serangga dan hewan menyukai komunitas yang baru ini
memungkinkan populasi serangga dan hewan dapat naek dengan cepat (Yunafsi
2007).
Sesuai
dengan hukum ekologi yang berlaku pada HTI, semakin rendah diversity atau
keanekaragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut akan makin labil.
Keadaan labil ini dapat diartikan sebagai keadaan yang mudah menyebabkan
melesaknya populasi hama.
D.
Hama Jenis-Jenis Tanaman HTI
(Studi Kasus PT. RAPP)
Berdasarkan studi kasus di
PT.RAPP yang berlokasi di Riau dan Kalimantan dimana tanamanannya adalah Acacia
mangium, Eucalyptus sp., dan Acacia
crassicarpa beberapa hama yang dominan adalah (Budi 2011):
1.
Rayap (Coptotermes sp.)
2.
Ulat-ulat pada filodia Akasia
3.
Ulat (Lepidoptera) penggulung
daun Eukaliptus
4.
Kutu daun (Aphids)
5.
Kutu kebul (Whiteflies)
6.
Ulat di Pembibitan A. Mangium
7.
Ulat Grayak (Spodoptera litura)
di pembibitan A. crassicarpa
8.
Jangkrik dan Belalang (Orthoptera)
yang menyerang akasia muda
9.
Serangan Helopeltis pada A. Mangium
10.
Serangan Lundi pada Eukaliptus muda
11.
Ulat kantung di HTI Akasia
Kesemuanya ini menyebabkan
terganggunya proses fisiologis pada tanaman. Serangan Lundi pada eukaliptus
muda diketahui menyebabkan pertumbuhan pohon lamban bahkan sampai mati,
kehilangan akar rambut dan kulit akar primer
Kebanyakan kerusakan terjadi
dalam kurun waktu 6 bulan setelah tanam, kematian dapat mencapai lebih dari 50%
di area beresiko tinggi (Area dengan tanah berpasir,sedikit gulma dan dekat
green belt.
E.
Pengelolaan Hama Terpadu di HTI
Kegiatan pengendalian hama
dimulai sejak kegiatan perencanaan samapai tahap pemanenan. Pengendalian hama
dapat diartikan sebagai tindakan pengaturan atau pembatasan populasi hama agar
tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan secara ekonomis, sosialatau
ekologias. Dalam pengembangannya pengendalian hama terpadu atau dikenal dengan
istilah Integrated Pest Management (IPM) yang mengkombinasikan teknik-teknik
pengelolaan sehingga dapat saling melengkapi antara teknik yang satu dengan
teknik yang lain. Pada dasarnya kegiatan pengendalian hama terpadu di PT. RAPP
dapat dikelompokkan menjadi:
1.
Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat
meliputi pemilihan jenis pohon yang memiliki tingkat ketahanan relatif tinggi
terhadap hama. Pemikihan lokasi tanam, sistem silvikultur yang tepat,
pengelolaan nursery yang baik dan sehat, kemudian pengelolaan tegakan yang
optimum akan berdampak pada vigor tanaman dan ketahanan terhadap hama.
2.
Pengamatan
Pengamatan rutin digunakan dalam
memantau perkiraan dampak sehingga dapat digunakan dalam acuan menentukan
ambang ekonomi sehingga nantinya diharapkan jika terjadi serangan akan
dihasilkan suatu keputusan atau kebijakan penanganan yang tepat. Selain itu
perlunya mempelajari ekologi hama baik mekanisme dan dampak serangan sehingga
meminimalkan resiko kegagalan saat keputusan pengendalian telah titetapkan.
3.
Pengendalian
Dari serangkaian kegiatan
pencegahan dan pengamatan maka yang terakhir berupa tindakan pengendalian dimana
dapat dikatagorikan macam-macam pengendalian yaitu pengendalian fisik dan
sanitasi, pengendalian hayati, dan pengendalian kimia. Kegitan percobaab
pengendalian hama penyakit terpadu dilakukan untuk meminimalkan resiko
kegagalan.
F.
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dapat
diartikan sebagai tindakan membatasi populasi hama dengan menggunakan agen
hayati. Studi kasus di PT. RAPP pengendalian hayati dilakukan salah satunya
dengan penggunaan Sycanus sp. Atau kepik pembunuh. Sycanus sp.
(Hemiptera;Reduviidae) adalah predator yang ganas dan mendapat julukan sebagai ”assassin
bugs”. Serangga ini membunuh mangsa lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk
makan. Serangga ini selain dimanfaatkan di kebun sawit, kini juga digunakan di
HTI Akasia dan Eukaliptus. Pada aplikasi serangga Sycanus sp. Di RAPP diketahui
bahwa:
1. Populasi Holopeltis menurun dari
7/pohon menjadi 1/pohon dan kerusakan menurun dari 30%menjadi 10% dalam waktu 3
bulan setelah Sycanus dilepas di compartement A.mangium
2. Keparahan serangan penggulung
daun menurun dari 60% menjadi 10% di satu compartement Mallaleuca lainnya
Selain aplikasi Sycanus sp. Digunakan
pula tanaman Turnera spp. Yaitu bunga pukul delapan sebagai habitat serangga
berguna terutama serangga parasitoid.
G.
Kesimpulan
Secara umum dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi kualitas
hutan produksi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pencegahan dan monitoring
dalam rangka pengendalian hama terpadu mutlak dilakuakan untuk mengurangi atau
meniadakan serangan hama.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan
Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran
Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Kebijakan
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Direktorat Bina Pengembangan
Hutan Tanaman. Jakarta.
Mappatoba Sila dan Nuraeni. 2009.
Buku Ajar Perlindungan dan Pengaman Hutan, Laboratorium Perlindungan dan
Serangga Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.
Tjahjono Budi. 2011. Penerapan
Multisistem Silvikultur Ditinjau dari Aspek Hama. Seminar Nasional
Pelestarian Hutan Indonesia dan Keanekaragaman Hayatinya dalam Mengantisipasi
Dampak Pemanasan Global. Bogor.
Yunafsi. 2007. Permasalahan
Hama, Penyakit dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha
Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.
No comments:
Post a Comment