Tuesday, August 23, 2011

INTERAKSI KEBAKARAN DAN PENYEBARAN PENYAKIT (Studi Kasus Hutan Pinus di Pedalaman Bagian Barat Amerika Serikat dan Kanada)


Interactions among fire, insects and pathogens in coniferous forests of the interior western United States and Canada

Oleh: Rifa’ Atunnisa, S.Hut

     A.   PENDAHULUAN
Kebakaran berskala besar sekaligus menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan telah menambah masalah di Indonesia, negara-negara tetangga, bahkan dimanca negara sekaligus. Sebagai contoh kejadian kebakaran hebat di Indonesia yang terjadi saat kemarau panjang (El Nino) tahun 1992/1993, 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998 (Dennis 1999). Begitu pula pada kejadian pada  hutan Pinus di pedalaman bagian barat Amerika Sekrikat dan Kanada disebutkan jika pemulihan kondisi alam akibat kerusakan karena kebakaran, hama hutan, dan penyakit hutan berlangsung selama ribuan tauan untuk menciptakan dan memperbaiki kondisi hutannya dengan munculnya pohon pionir Pinus (Parker et al. 2006). Pengendalian kerusakan hutan sangat perlu dilakukan mengingat hutanmerupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainny. Pengendalian kerusakan hutan ini dapat dilakukan melalui kegiatan perlindungan hutan, yaitu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
            Kerusakan yang terjadi di dalam hutan atau kawasan hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor pengganggu, diantaranya adalah kebakaran hutan, hama, penyakit dan penggembalaan. Antar faktor penyebab gangguan hutan ini memiliki hubungan sebab akibat. Dalam makalah ini akan disampaikan pembahasan mengenai hubungan antara faktor pengganggu yaitu terjadinya kebakaran, serangga, dan patogen studi kasus pada hutan Pinus di pedalaman bagian barat Amerika Serikat dan Kanada.
B.               PEMBAHASAN
Kejadian kebakaran, adanya serangga dan patogen merupakan komponen alami yang secara terintegrasi menjadi bagian yang penting pada hutan di Amerika bagian Utara (Martin 1989). Upaya pengembalian hutan akibat kerusakan yang diakibatkan oleh komponen tersebut, dengan melibatkan ketiga komponen tersebut merupakan hal penting untuk mengembalikan kondisi hutan pada daerah tersebut. Kombinasi dari dampak kebakaran, kompetisi untuk mendapatkan sinar matahari dan air, kemudian serangga alami hutan, dan patogen memiliki hubungan selama ribuan tahun untuk menciptakan hutan yang didominasi oleh spesies pioner pinus. Meskipun adanya perubahan kondisi hutan akibat kebakaran dan ualah dari kegiatan manusia seperti penggembalaan ternak, praktek pengelolaan hutan yang menebang diluar batas kemampuan hutan, perladangan, dan kejadian perubahan iklim dalam akhir dekade ini merubah pokok dari interaksi ini bahwa sejak kebakaran menjadi kejadian penyebab kerusakan hutan yang paling dominan di hutan bagian barat dunia, kunci untuk menjaga fungsi ekosistem hutan adalah selamanya dengan menjaga keterkaitan hubungan antara kebakaran, kegiatan manajemen, serangga dan penyakit (McDonald et al. 2000).

B.1     Kebakaran, Akar Lapuk dan Kumbang
Tegakan pinus (Pinus contorta Dough. Ex.Loud.) sangat rentan terjadinya siklus kerusakan yang diawali dengan adanya patogen yang menyebabkan pelapukan sehingga mengakibatkan kematian pada pohon. Setelah pohon mati, kemudian diserang oleh kumbang, dan oleh kumbang ini lah patogen pelapuk kayu disebarkan kepada pohon-pohon yang masih sehat. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan ketersediaan bahan bakar dan rentan terhadap kejadian kebakaran. Siklus ini terus berlangsung yaitu adanya patogen penyebab penyakit penyakit, pelapukan, serangan kumbang dan meningkatnya ketersediaan bahan bakar. Salah satu jenis dari kumbang pada tanaman Pinus ini adalah Dendroctonus ponderosae Hopkins yang diketahui menyerang kulit kayu lebih banyak pada tanaman yang sudah terinfeksi patogen pelapuk daripada tanaman yang tidak terinfeksi patogen pelapuk.
B.2  Serangga sebagai Vektor atau Pembawa Patogen Setelah Kebakaran
Serangga menyebarkan jamur kepada pohon-pohon sisa akibat kebaran di banyak ekosistem hutan bagaian barat dunia (western forest). Sebagai contoh, Piirto et al. (1998) menyebutkan bahwa jamur jenis Tritrachium sp lebih banyak menyerang pohon yang terbakar daripada pohon yang tidak terbakar. Sebagaian besar kumbang membawa jamur pelapuk. Serangga dapat membawa spora dari jamur yang menyebabkan penyakit black stain root pada pohon-pohon yang terbakar.

B.3     Interaksi Antara Kebakaran dan Patogen
Terdapat banyak contoh bahwa beberapa spesies pohon-pohon yang ada di hutan bagian barat (western), dalam hal ini lebih banyak pada jenis-jenis pinus, melalui kejadian kebakaran menyebabkan kerentanan pohon terkena patogen. Littke (1986) menyebutkan bahwa dalam studinya sekitar 70% dari pohon-pohon yang tertekan karena api atau kebakaran mengalami kerusakan akar akibat kebakaran. Setelah 6 tahun dari kejadian kebakaran, diserang oleh jamur pelapuk termasuk diantaranya Perenniporia subacida yang menyebabkan yellow root rot, Heterobasidion annosum (penyakit akar annosus), Lentinus lepideus (Lentinus butt rot) dan Sistotrema brinkmannii.

C.               Kesimpulan
Upaya pengembalian hutan akibat kerusakan yang diakibatkan oleh komponen kebakaran, serangga, dan patogent, dengan melibatkan ketiga komponen tersebut merupakan hal penting untuk mengembalikan kondisi hutan pada daerah hutan pinus di pedalaman bagian barat Amerika Serikat dan Kanada. Pembelajaran mengenai interaksi dari ketiga komponen ini menjadi penting dalam menentukan konsep menejemen restorasi yang efektif dan efisien terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang muncul.



DAFTAR  PUSTAKA

Dennis, R.A. 1999. A review of fire projects in Indonesia 1982 - 1998. Center for International Forestry Research.Bogor.

Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Littke , W . R . & Gara , R . I . 1986  Decay of fire-damaged lodgepole pine in south-central Oregon . Forest Ecology and Management , 17 , 279 – 287 .

McDonald , G . I . , Harvey , A . E . & Tonn , J . R . 2000 Fire, competition and forest pests: landscape treatment to sustain ecosystem function.Crossing the Millennium: Integrating Spatial Technologies and Ecological Principles for a New Age in Fire Management. Proceedings from the Joint Fire Conference and Workshop, 2 ( ed. by L . F . Neuenschwander and K . C . Ryan ), pp . 195 – 211 . University of Idaho and the International Association of Wildland Fire , Moscow, Idaho .

Martin , R . 1989  Interaction among fire, arthropods, and diseases in a healthy forest. Healthy Forests, Healthy World . Proceedings of the 1988 Society of American Foresters National Convention , pp . 87 – 91 . Society of American Foresters , Bethesda, Maryland .

Parker et al. 2006. Interaction Among Fire, Insect, and Pathogens in Conifeous Forest  of  The Interior Western United State and Kanada. Agricultural and Forest Entomology Journal: 167-189.

Piirto , D . D . , Parmeter , J . R . , Cobb , F . W . Jr , Piper , K . L . , Workinger , A . C . & Otrosina , W . J . 1998  Biological and management implications of fire – pathogen interactions in the giant sequoia ecosystem . Proceedings of the 20th Tall Timbers Fire Ecology Conference Fire in Ecosystem Management: Shifting the Paradigm from Suppression to Prescription , pp . 325 – 336 . Tall Timbers Research Station , Tallahassee, Florida .

POHON SEHAT SEBAGAI SYARAT OPTIMASI PERTUMBUHAN


The Health Tree As Require For Optimizing Growth
Oleh: Rifa’ Atunnisa, S.Hut

Pohon dalam hal ini tumbuhan dikatakan sehat atau normal, apabila tumbuhan tersebut dapat melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensi genetik terbaik yang dimilikinya. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya mencakup pembelahan, diferensiasi dan perkembangan sel yang normal, penyerapan air dan mineral dari tanah dan mentranslokasikannya ke seluruh bagian tumbuhan; fotosintesis dan translokasi hasil-hasil fotosintesis ke tempat-tempat penggunaan dan penyimpanan persediaan makanan untuk reproduksi (Yunasfi 2002).
Pertumbuhan dan hasil tumbuhan tersebut bergantung pada dua faktor yaitu faktor dari dalam yaitu internal dan faktor dari luar yang sering kita sebut eksternal. Faktor internal dapat dikatakan menjadi dasar kemampuan suatu tanaman dapat tumbuh dan berkembang. Faktor ini dapat dikaitkan dengan kemampuan genetiknya yang akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman tersebut untuk tumbuh dalam lingkungan tertentu (Daniel 1987).  Faktor dari luar dapat dijabarkan yaitu ketersediaan hara dan air di dalam tanah tempat tumbuhan tersebut tubuh, dan pada pemeliharaan dalam kisaran faktor-faktor lingkungan tertentu, seperti suhu, kelembaban dan cahaya. Sesuatu yang mempengaruhi kesehatan tumbuhan berkemungkinan besar akan mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan produksinya., dan akan dapat menurunkan kegunaannya bagi manusia. Patogen tumbuhan, cuaca yang tidak menguntungkan, gulma dan serangga hama adalah penyebab yanga sangat umum dalam menurunkan pertumbuhan dan produksi tumbuhan. Oleh karena itu ilmu genetika hutan dan fisiologi pohon bersama-sama membentuk landasan terpadu yang penting bagi optimasi pertumbuhan tanaman yang sehat.
            Apabila tumbuhan diganggu oleh patogen, hama atau oleh keadaan lingkungan tertentu dan salah satu atau lebih dari fungsi-fungsi fisiologis tersebut terganggu sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dari keadaan normal, maka tumbuhan dapat menjadi sakit. Proses-proses fisiologis pada tanaman mengontrol kuantitas neto makanan yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman, gerakan bahan organik dan anorganik dalam tanaman, dan vigor relatif tanaman dalam arti status air dan haranya. Karena itu kecepatan dan dan lama proses pokok fisiologis sangat mencirikan kemampuan relatif tumbuhan untuk berkembang dalam lingkungannya.Karena kita berhubungan dengan pohon-pohon yang berumur panjang dan periode pengelolaan yang mencakup beberapa dasawarsa, maka kita perlu mengevaluasi proses fisiologis dengan terus menurus.

Pohon Resisten Terhadap Hama dan Penyakit
Menutut  Husaeni (2002), salah satu cara mengurangi ketergantungan pemakaian pestisida adalah penanaman varietas, kultivar, atau klon tanaman resisten. Konsep penggunaan tanaman resisten dalam pengendalian hama dan penyakit berasal dari pengetahuan bahwa kebanyakan pohon adalah resisten terhadap hama dan penyakit yang menyerangnya. Sifat-sifat fisiologis, morfologis, dan atau perilaku yang dimiliki suatu organisme membentuk inti pertahanan terhadap organisme lain yang akan menyeranya (Hardi 2007). Sistem pertahanan ini merupakan hasil dari seleksi alam. Resistensi pohon terhadap hama dan penyakit adalah setiap sifat tanaman yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi pengaruh serangan hama dan penyakit tersebut. Sifat-sifat yang demikian merupakan corak pre-adaptif yang memungkinkan kesempatan pohon tersebut untuk terus hidup dan berkembang biak.

Kesimpulan
Bertolak dari pengertian tanaman sehat adalah tanaman tersebut dapat melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensi genetik terbaik yang dimilikinya maka ada dua unsur penting yang dapat di simpulkan yaitu pentingnya unsur genetic yang unggul dan manipulasi terhadap faktor lingkungan agar suatu tanaman dapat secara optimum melakukan proses fisiologisnya sehingga terkatagori sebagai tanaman sehat, dan pada akhirnya tercapai pertumbuhan yang maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Daniel, W dan Helms,  J. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. (Ed. Soesono). Yogyakarta: UGM Press.

Hardi,T dan Darwiati, W. Resistensi Tanaman Terhadap Serangga Hama. Mitra Hutan Tanaman: Vol.2 No.1 15-21.

Husaeni,E.A. 2002. Resistensi Pohon Terhadap Hama. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.

Yunafsi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.


Implementation of Forest Protection at Forest Industry in Pest Aspect

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN
PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DARI ASPEK GANGGUAN HAMA

Oleh: Rifa’Atunnisa, S.Hut

A.               Latar Belakang
Sesuai dengan mandat UU No.41 Tahun 1999 mengenai pembagian hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan dalam pasal 6 dan penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan pada pasal 6 ayat 2 salah satunya adalah penetapan hutan produksi. Dalam pengelolaan hutan produksi dapat dibangun Hutan Tanaman Industri sesuai dengan kriteria dan peraturan perundangan  yang berlaku. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu (Dephut 2009). Dalam pelaksanaan pembangunan HTI yang kecenderungannya adalah homogen atau monokultur, menyebabkan banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab menunnya jumlah produksi.  Permasalahan seperti hama, penyakit dan gulma merupakan beberapa permasalahan yang sering ditemui di pertanaman HTI. Selain dapat menyebabkan penurunan produksi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas produk akhir yang dihasilkan. Oleh karenanya perlindungan hutan terhadap gangguan-gangguan hutan tersebut mutlak diperlukan untuk kelestarian hasil produksi.

B.               Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas. Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil (Sumardi dan Widyastuti  2004).

C.               Gangguan Hama
Dikatakan sebagai hama hutan apabila serangga dan hewan menimbulkan kerusakan ekonomis yaitu terjadi kerusakan pada pohon-pohon di hutan yang menjadi makanan atau tempat tinggalnya sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik atau pengelola hutan. Hama hutan tidak hanya terdiri dari hewan serangga saja melainkan termasuk tikus, nematoda dan berbagai satwa lainnya. Pengusahaan HTI memungkinkan terjadinya perubahan keadaan alam yang ada menjadi suatu hutan yang diintervensi oleh manusia secara intensif atau merupakan hutan buatan manusia (man made forest). Hutan buatan manusia ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Berbeda dengan hutan alam yang telah mencapai klimaks, keseimbangan populasi serangga dan hewan telah mencapai dinamika yang hampir stabil sehingga kemungkinan terdapanya hama sangat kecil bahkan mungkin tidak ada.
            Hutan dengan komunitas ciptaan manusia ini dapat menimbulkan kerugian dengan kemungkinan yang ada yaitu kemungkinan yang pertama jika ternyata komunitas buatan ini akan merugikan populasi serangga dan hewan maka sangat mungkin akan berpindah ke tempat lain atau bahkan akan mengalami kepunahan, atau kemungkinan kedua jika populasi serangga dan hewan menyukai komunitas yang baru ini memungkinkan populasi serangga dan hewan dapat naek dengan cepat (Yunafsi 2007).
            Sesuai dengan hukum ekologi yang berlaku pada HTI, semakin rendah diversity atau keanekaragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut akan makin labil. Keadaan labil ini dapat diartikan sebagai keadaan yang mudah menyebabkan melesaknya populasi hama.

D.          Hama Jenis-Jenis Tanaman HTI (Studi Kasus PT. RAPP)
Berdasarkan studi kasus di PT.RAPP yang berlokasi di Riau dan Kalimantan dimana tanamanannya adalah Acacia mangium, Eucalyptus sp., dan  Acacia crassicarpa beberapa hama yang dominan adalah (Budi 2011):
1.             Rayap (Coptotermes sp.)
2.             Ulat-ulat pada filodia Akasia
3.             Ulat (Lepidoptera) penggulung daun Eukaliptus
4.             Kutu daun (Aphids)
5.             Kutu kebul (Whiteflies)
6.             Ulat di Pembibitan A. Mangium
7.             Ulat Grayak (Spodoptera litura) di pembibitan A. crassicarpa
8.             Jangkrik dan Belalang (Orthoptera) yang menyerang akasia muda
9.             Serangan Helopeltis pada A. Mangium
10.         Serangan Lundi pada Eukaliptus muda
11.         Ulat kantung di HTI Akasia
Kesemuanya ini menyebabkan terganggunya proses fisiologis pada tanaman. Serangan Lundi pada eukaliptus muda diketahui menyebabkan pertumbuhan pohon lamban bahkan sampai mati, kehilangan akar rambut dan kulit akar primer
Kebanyakan kerusakan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan setelah tanam, kematian dapat mencapai lebih dari 50% di area beresiko tinggi (Area dengan tanah berpasir,sedikit gulma dan dekat green belt.


E.               Pengelolaan Hama Terpadu di HTI
Kegiatan pengendalian hama dimulai sejak kegiatan perencanaan samapai tahap pemanenan. Pengendalian hama dapat diartikan sebagai tindakan pengaturan atau pembatasan populasi hama agar tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan secara ekonomis, sosialatau ekologias. Dalam pengembangannya pengendalian hama terpadu atau dikenal dengan istilah Integrated Pest Management (IPM) yang mengkombinasikan teknik-teknik pengelolaan sehingga dapat saling melengkapi antara teknik yang satu dengan teknik yang lain. Pada dasarnya kegiatan pengendalian hama terpadu di PT. RAPP dapat dikelompokkan menjadi:
1.                  Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat meliputi pemilihan jenis pohon yang memiliki tingkat ketahanan relatif tinggi terhadap hama. Pemikihan lokasi tanam, sistem silvikultur yang tepat, pengelolaan nursery yang baik dan sehat, kemudian pengelolaan tegakan yang optimum akan berdampak pada vigor tanaman dan ketahanan terhadap hama.
2.                  Pengamatan
Pengamatan rutin digunakan dalam memantau perkiraan dampak sehingga dapat digunakan dalam acuan menentukan ambang ekonomi sehingga nantinya diharapkan jika terjadi serangan akan dihasilkan suatu keputusan atau kebijakan penanganan yang tepat. Selain itu perlunya mempelajari ekologi hama baik mekanisme dan dampak serangan sehingga meminimalkan resiko kegagalan saat keputusan pengendalian telah titetapkan.
3.                  Pengendalian
Dari serangkaian kegiatan pencegahan dan pengamatan maka yang terakhir berupa tindakan pengendalian dimana dapat dikatagorikan macam-macam pengendalian yaitu pengendalian fisik dan sanitasi, pengendalian hayati, dan pengendalian kimia. Kegitan percobaab pengendalian hama penyakit terpadu dilakukan untuk meminimalkan resiko kegagalan.

F.           Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dapat diartikan sebagai tindakan membatasi populasi hama dengan menggunakan agen hayati. Studi kasus di PT. RAPP pengendalian hayati dilakukan salah satunya dengan penggunaan Sycanus sp. Atau kepik pembunuh. Sycanus sp. (Hemiptera;Reduviidae) adalah predator yang ganas dan mendapat julukan sebagai ”assassin bugs”. Serangga ini membunuh mangsa lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk makan. Serangga ini selain dimanfaatkan di kebun sawit, kini juga digunakan di HTI Akasia dan Eukaliptus. Pada aplikasi serangga Sycanus sp. Di RAPP diketahui bahwa:
1.      Populasi Holopeltis menurun dari 7/pohon menjadi 1/pohon dan kerusakan menurun dari 30%menjadi 10% dalam waktu 3 bulan setelah Sycanus dilepas di compartement A.mangium
2.      Keparahan serangan penggulung daun menurun dari 60% menjadi 10% di satu compartement Mallaleuca lainnya
Selain aplikasi Sycanus sp. Digunakan pula tanaman Turnera spp. Yaitu bunga pukul delapan sebagai habitat serangga berguna terutama serangga parasitoid.

G.         Kesimpulan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi kualitas hutan produksi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pencegahan dan monitoring dalam rangka pengendalian hama terpadu mutlak dilakuakan untuk mengurangi atau meniadakan serangan hama.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman. Jakarta.

Mappatoba Sila dan Nuraeni. 2009. Buku Ajar Perlindungan dan Pengaman Hutan, Laboratorium Perlindungan dan Serangga Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.

Tjahjono Budi. 2011. Penerapan Multisistem Silvikultur Ditinjau dari Aspek Hama. Seminar Nasional Pelestarian Hutan Indonesia dan Keanekaragaman Hayatinya dalam Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global. Bogor.

Yunafsi. 2007. Permasalahan Hama, Penyakit dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.