Tuesday, August 23, 2011

Implementation of Forest Protection at Forest Industry in Pest Aspect

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN
PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DARI ASPEK GANGGUAN HAMA

Oleh: Rifa’Atunnisa, S.Hut

A.               Latar Belakang
Sesuai dengan mandat UU No.41 Tahun 1999 mengenai pembagian hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan dalam pasal 6 dan penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan pada pasal 6 ayat 2 salah satunya adalah penetapan hutan produksi. Dalam pengelolaan hutan produksi dapat dibangun Hutan Tanaman Industri sesuai dengan kriteria dan peraturan perundangan  yang berlaku. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu (Dephut 2009). Dalam pelaksanaan pembangunan HTI yang kecenderungannya adalah homogen atau monokultur, menyebabkan banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab menunnya jumlah produksi.  Permasalahan seperti hama, penyakit dan gulma merupakan beberapa permasalahan yang sering ditemui di pertanaman HTI. Selain dapat menyebabkan penurunan produksi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas produk akhir yang dihasilkan. Oleh karenanya perlindungan hutan terhadap gangguan-gangguan hutan tersebut mutlak diperlukan untuk kelestarian hasil produksi.

B.               Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas. Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil (Sumardi dan Widyastuti  2004).

C.               Gangguan Hama
Dikatakan sebagai hama hutan apabila serangga dan hewan menimbulkan kerusakan ekonomis yaitu terjadi kerusakan pada pohon-pohon di hutan yang menjadi makanan atau tempat tinggalnya sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik atau pengelola hutan. Hama hutan tidak hanya terdiri dari hewan serangga saja melainkan termasuk tikus, nematoda dan berbagai satwa lainnya. Pengusahaan HTI memungkinkan terjadinya perubahan keadaan alam yang ada menjadi suatu hutan yang diintervensi oleh manusia secara intensif atau merupakan hutan buatan manusia (man made forest). Hutan buatan manusia ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Berbeda dengan hutan alam yang telah mencapai klimaks, keseimbangan populasi serangga dan hewan telah mencapai dinamika yang hampir stabil sehingga kemungkinan terdapanya hama sangat kecil bahkan mungkin tidak ada.
            Hutan dengan komunitas ciptaan manusia ini dapat menimbulkan kerugian dengan kemungkinan yang ada yaitu kemungkinan yang pertama jika ternyata komunitas buatan ini akan merugikan populasi serangga dan hewan maka sangat mungkin akan berpindah ke tempat lain atau bahkan akan mengalami kepunahan, atau kemungkinan kedua jika populasi serangga dan hewan menyukai komunitas yang baru ini memungkinkan populasi serangga dan hewan dapat naek dengan cepat (Yunafsi 2007).
            Sesuai dengan hukum ekologi yang berlaku pada HTI, semakin rendah diversity atau keanekaragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut akan makin labil. Keadaan labil ini dapat diartikan sebagai keadaan yang mudah menyebabkan melesaknya populasi hama.

D.          Hama Jenis-Jenis Tanaman HTI (Studi Kasus PT. RAPP)
Berdasarkan studi kasus di PT.RAPP yang berlokasi di Riau dan Kalimantan dimana tanamanannya adalah Acacia mangium, Eucalyptus sp., dan  Acacia crassicarpa beberapa hama yang dominan adalah (Budi 2011):
1.             Rayap (Coptotermes sp.)
2.             Ulat-ulat pada filodia Akasia
3.             Ulat (Lepidoptera) penggulung daun Eukaliptus
4.             Kutu daun (Aphids)
5.             Kutu kebul (Whiteflies)
6.             Ulat di Pembibitan A. Mangium
7.             Ulat Grayak (Spodoptera litura) di pembibitan A. crassicarpa
8.             Jangkrik dan Belalang (Orthoptera) yang menyerang akasia muda
9.             Serangan Helopeltis pada A. Mangium
10.         Serangan Lundi pada Eukaliptus muda
11.         Ulat kantung di HTI Akasia
Kesemuanya ini menyebabkan terganggunya proses fisiologis pada tanaman. Serangan Lundi pada eukaliptus muda diketahui menyebabkan pertumbuhan pohon lamban bahkan sampai mati, kehilangan akar rambut dan kulit akar primer
Kebanyakan kerusakan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan setelah tanam, kematian dapat mencapai lebih dari 50% di area beresiko tinggi (Area dengan tanah berpasir,sedikit gulma dan dekat green belt.


E.               Pengelolaan Hama Terpadu di HTI
Kegiatan pengendalian hama dimulai sejak kegiatan perencanaan samapai tahap pemanenan. Pengendalian hama dapat diartikan sebagai tindakan pengaturan atau pembatasan populasi hama agar tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan secara ekonomis, sosialatau ekologias. Dalam pengembangannya pengendalian hama terpadu atau dikenal dengan istilah Integrated Pest Management (IPM) yang mengkombinasikan teknik-teknik pengelolaan sehingga dapat saling melengkapi antara teknik yang satu dengan teknik yang lain. Pada dasarnya kegiatan pengendalian hama terpadu di PT. RAPP dapat dikelompokkan menjadi:
1.                  Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat meliputi pemilihan jenis pohon yang memiliki tingkat ketahanan relatif tinggi terhadap hama. Pemikihan lokasi tanam, sistem silvikultur yang tepat, pengelolaan nursery yang baik dan sehat, kemudian pengelolaan tegakan yang optimum akan berdampak pada vigor tanaman dan ketahanan terhadap hama.
2.                  Pengamatan
Pengamatan rutin digunakan dalam memantau perkiraan dampak sehingga dapat digunakan dalam acuan menentukan ambang ekonomi sehingga nantinya diharapkan jika terjadi serangan akan dihasilkan suatu keputusan atau kebijakan penanganan yang tepat. Selain itu perlunya mempelajari ekologi hama baik mekanisme dan dampak serangan sehingga meminimalkan resiko kegagalan saat keputusan pengendalian telah titetapkan.
3.                  Pengendalian
Dari serangkaian kegiatan pencegahan dan pengamatan maka yang terakhir berupa tindakan pengendalian dimana dapat dikatagorikan macam-macam pengendalian yaitu pengendalian fisik dan sanitasi, pengendalian hayati, dan pengendalian kimia. Kegitan percobaab pengendalian hama penyakit terpadu dilakukan untuk meminimalkan resiko kegagalan.

F.           Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dapat diartikan sebagai tindakan membatasi populasi hama dengan menggunakan agen hayati. Studi kasus di PT. RAPP pengendalian hayati dilakukan salah satunya dengan penggunaan Sycanus sp. Atau kepik pembunuh. Sycanus sp. (Hemiptera;Reduviidae) adalah predator yang ganas dan mendapat julukan sebagai ”assassin bugs”. Serangga ini membunuh mangsa lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk makan. Serangga ini selain dimanfaatkan di kebun sawit, kini juga digunakan di HTI Akasia dan Eukaliptus. Pada aplikasi serangga Sycanus sp. Di RAPP diketahui bahwa:
1.      Populasi Holopeltis menurun dari 7/pohon menjadi 1/pohon dan kerusakan menurun dari 30%menjadi 10% dalam waktu 3 bulan setelah Sycanus dilepas di compartement A.mangium
2.      Keparahan serangan penggulung daun menurun dari 60% menjadi 10% di satu compartement Mallaleuca lainnya
Selain aplikasi Sycanus sp. Digunakan pula tanaman Turnera spp. Yaitu bunga pukul delapan sebagai habitat serangga berguna terutama serangga parasitoid.

G.         Kesimpulan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi kualitas hutan produksi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pencegahan dan monitoring dalam rangka pengendalian hama terpadu mutlak dilakuakan untuk mengurangi atau meniadakan serangan hama.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman. Jakarta.

Mappatoba Sila dan Nuraeni. 2009. Buku Ajar Perlindungan dan Pengaman Hutan, Laboratorium Perlindungan dan Serangga Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.

Tjahjono Budi. 2011. Penerapan Multisistem Silvikultur Ditinjau dari Aspek Hama. Seminar Nasional Pelestarian Hutan Indonesia dan Keanekaragaman Hayatinya dalam Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global. Bogor.

Yunafsi. 2007. Permasalahan Hama, Penyakit dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.


No comments:

Post a Comment