Monday, October 10, 2011

Jamur Shitake

Jamur adalah kelompok besar jasad hidup yang termasuk ke dalam dunia tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai pigmen hijau daun (khlorofil). Tetapi jamur berinti, berspora, berupa sel, atau benang, bercabang-cabang, dengan dinding sel dari selulosa atau khitin atau kedua-duanya. Pada umumnya jamur berkembang biak secara seksual dan aseksual. Secara taksonomi kelompok ini masuk dalam kerajaan fungi dengan beberapa kelasnya. Jamur mempunyai bentuk tubuh mulai dari yang sederhana yaitu satu sel atau uniseluler, kemudian bentuk serat atau filamen, sampai dengan bentuk lengkap seperti halnya jaringan lengkap pada tanaman biasa. Dari bentuknya sering jamur dikenal sebagai kelompok kapang (jasad renik) dan kelompok mushroom (supa). Dari sisi kehidupannya, jasad ini dikelompokkan ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama dikenal sebagai jasad yang saprofitis yaitu jasad yang hidup dari jasad lain yang sudah mati ataupun dari sisa zat buangan seperti misalnya pada timbunan sampah, tanaman atau hewan yang telah mati, bahan makanan yang disimpan. Kelompok kedua, dikenal sebagai jasad yang parasitis yaitu yang hidup menumpang pada jasad lain yang masih hidup. Kelompok yang terakhir ini sering menimbulkan kerugian seperti halnya penyebab berbagai penyakit kulit. Melihat dari berbagai bentuk kehidupannya, maka tidak mengherankan bila jamur dapat hidup kapan saja dan di mana saja, selama tersedia substrat yang dibutuhkan dan lingkungan yang menunjang. Kehadirannya di dalam kehidupan kita juga sangat beragam, entah mendatangkan kerugian atau keuntungan baik secara langsung maupun tak langsung. Salah satu keberadaan jamur di lingkungan kita yang terasa sangat menguntungkan adalah keberadaan dalam dunia pangan. Salah satu jenis jamur yang cukup digemari dan memilki citarasa yang cukup tinggi di bidang pangan adalah jamur shitake. Jamur Shiitake (Lentinula edodes) atau jamur Hioko dan sering ditulis sebagai jamur shitake adalah jamur pangan asal Asia Timur yang terkenal di seluruh dunia dengan nama aslinya dalam bahasa Jepang. Shiitake secara harafiah berarti jamur dari pohon Shii (Castanopsis cuspidata) karena batang pohonnya yang sudah lapuk merupakan tempat tumbuh jamur shiitake. Spesies ini dulunya pernah dikenal sebagai Lentinus edodes. Ahli botani Inggris bernama Miles Joseph Berkeley menamakan spesies ini sebagai Agaricus edodes di tahun 1878. Shiitake banyak dibudidayakan di Tiongkok, Korea dan Jepang dan bisa dijumpai di alam bebas di di daerah pegunungan di Asia Tenggara. Di Hongkong dan Singapura, jamur jenis ini dikenal sebagai chinese black mushroom. Di Indonesia dikenal dengan nama jamur kayu cokelat atau secara umum disebut jamur shiitake saja Shiitake juga dikenal dengan nama jamur hitam China, karena aslinya memang berasal dari daratan Tiongkok dan sudah dibudidayakan sejak 1000 tahun yang lalu. Berikut ini taksonomi jamur shitake : Kerajaan : Fungi Filum : Basidiomycot Kelas : Homobasidiomycetes Ordo : Agaricales Famili : Marasmiaceae Genus : Lentinula Spesies : Lentinula edodes Shiitake dalam bahasa Tionghoa disebut xiānggū (Hanzi : "jamur harum"), sedangkan yang berkualitas tinggi dengan payung yang lebih tebal disebut dōnggū (Hanzi: "jamur musim dingin") atau huāgū ("jamur bunga") karena pada bagian atas permukaan payung terdapat motif retak-retak seperti mekar. Di Indonesia kadang-kadang dinamakan jamur jengkol karena bentuk dan aromanya seperti jengkol walaupun bagi sebagian orang rasa jamur ini seperti rasa petai. Jamur shiitake tumbuh di permukaan batang kayu yang melapuk dari pohon Castanopsis cuspidata, Castanea crenata (berangan), dan sejenis pohon ek Quercus acutissima. Batang dari tubuh buah sering melengkung, karena shiitake tumbuh ke atas dari permukaan batang kayu yang diberdirikan. Payung terbuka lebar, berwarna coklat tua dengan bulu-bulu halus di bagian atas permukaan payung, sedangkan bagian bawah payung berwarna putih. Diameter tudung antara 5-10 cm dengan tebal antara 2-6 cm. Tangkai berwarna putih kekuningan dan panjang 2-6 cm, dengan berat setiap jamur berkisar 10-30 gram Shitake atau dikenal juga dengan nama Hoang-ko merupakan jamur yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Cita rasanya khas, terutama aromanya yang harum, menjadikan shitake mempunyai harga tinggi yang hanya dapat dikalahkan oleh jamur Black Truffles (Tuber melanosporum). Harganya sangat ditentukan oleh aroma yang dapat dihasilkan. Umumnya, jamur yang liar lebih mahal dibandingkan hasil budidaya karena cita rasanya yang dinilai lebih lengkap. Shitake juga dikenal sebagai bahan pangan yang mempunyai potensi sebagai obat. Jamur ini dilaporkan mempunyai potensi sebagai antitumor, obat untuk penyakit saluran nafas, melancarkan sirkulasi darah, meredakan gangguan hati, memulihkan kelelahan dan meningkatkan energi chi. Shiitake juga dipercaya dapat mencegah penuaan dini dan antivirus karena mengandung senyawa polisakarida yang dikenal dengan sebutan lentinan. Shitake juga dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol darah dengan aktivitas eritadenin yang dimilikinya. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan baik di Jepang maupun di negara-negara barat menunjukkan bahwa shitake ini memang memilki banyak zat yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia, antara lain asam amino yang terkandung di dalam jamur shiitake dapat membantu memproses kolesterol di dalam hati. Jamur ini mengandung asam amino yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, yaitu; thiamin, riboflavin, niacin, serta beberapa jenis serat dan enzim. Jamur Shiitake juga mengandung ergosterol, yang akan diolah tubuh menjadi vitamin D setelah kulit terkena sinar matahari. Kandungan asam amino jamur shiitake membuatnya berfungsi meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mengatasi gangguan pencernaan, hati, meredakan serangan pilek, dan melancarkan peredaran darah.Penelitian lainnya di Jepang yang dilakukan pada tahun 1980, menemukan bahwa jamur shiitake ternyata sangat manjur untuk mengobati penyakit hepatitis B. Jamur berwarna cokelat ini terbukti mampu memproduksi zat antibodi. Penemuan ini telah diuji coba pada 40 orang penderita hepatitis B kronis. Mereka mengkonsumsi 60 gram jamur shiitake segar setiap hari selama empat bulan. Hasilnya, hampir semua penderita hepatitis B mengalami pengurangan gejala dan 15% virus hepatitis B dapat di nonaktifkan. Sementara itu, para ilmuwan dunia barat juga menemukan fakta bahwa jamur ini mampu melawan serangan penyakit jantung, kanker dan virus penyakit.Sementara hasil penelitian di lingkungan National Cancer Center Institute di Tokyo, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat menunjukkan, ekstrak jamur shiitake memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan tumor antara 72-92 persen, sarcoma sekitar 81 %. Tak hanya itu, Dr KW Cochran dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, tahun 1974 mempublikasikan khasiat jamur shiitake yang sudah sejak lama diketahui mempunyai peran di dalam penurun gula dan kolesterol darah, juga sebagai antikanker dan antitumor. Dalam jamur shiitake selain protein, niasin, thiamin, riboflavin, serta sederet mineral, juga terdapat lentinan yaitu polysakharida yang larut di dalam air, yang sejak lama diakui memiliki kemampuan sebagai antitumor dan antikanker. Pada jamur shiitake, kandungan lentinan tertinggi akan didapatkan pada bagian batang dekat tudung dan bagian tudungnya. Sedang batang lainnya, umumnya merupakan makanan kaya serat yang sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya kanker usus. Manfaat lentinan terhadap penghambatan virus HIV-AIDS, walau di Jepang sudah diakui secara positif, tetapi pada beberapa percobaan di lembaga- lemnbaga kanker AS, belum meyakinkan. Produk jamur shiitake hasil olahan banyak beredar dalam bentuk pil, kapsul atau pun serbuk untuk campuran bahan lain, tetapi sangat dianjurkan penggunaan dalam bentuk segar atau dimasak menjadi sayur. Dan, bagi vegetarian, dengan mengkonsumsi jamur shiitake dapat menggantikan protein hewani. Melihat manfaat yang begitu besar, rasanya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa jamur Shiitake adalah sejenis jamur yang mempunyai prospek yang cerah. Jamur ini mempunyai peluang pasar domestik dan global, dapat dimanfaatkan sebagai obat dan dapat sebagai makanan. Untuk itulah diperlukan suatu pengetahuan mengenai bagaimana mekanisme budidaya jamur shiitake ini agar nantinya bisa dikembangkan secara luas yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan masyarakat secara umum. Proses transfer ilmu semacam inilah yang sebenarnya sangat diperlukan masyarakat saat ini. Tahapan penanaman dan pemeliharaan jamur shiitake dengan media serbuk gergaji dapat dilakukan sebagai berikut: Untuk budidaya jamur shiitake perlu disiapkan media tanam yaitu serbuk gergaji yang dikomposkan. Serbuk ini dibiarkan kena hujan dan panas selama dua minggu dan disiram dengan air. Tujuan penyiraman ini selain menyempurnakan pengomposan juga untuk menghilangkan sisa-sisa minyak yang ada pada serbuk gergaji. Setelah itu, serbuk gergaji ditiriskan dengan diangin-anginkan, yang kemudian dapat digunakan sebagai media. Penyiapan media harus dijaga kebersihannya terutama karena bibit jamur stadium miselium rentan terhadap perubahan lingkungan antara lain kelembapan dan temperatur. Setelah inokulasi, pertumbuhan hifa cukup kritis dan memerlukan kondisi lingkungan yang cocok dan relatif stabil. Faktor penting dalam pembentukan tubuh buah yaitu, kelembaban, konsentrasi gas O2 dan cahaya. Kadar air media untuk pertumbuhan vegetatif bergantung pada jenis media yang dipakai. Untuk media kayu utuh, kadar air optimum adalah 45-60% sedangkan media serbuk gergaji adalah 60-75%. Faktor fisik lain seperti suhu, oksigen, cahaya dan gaya tarik bumi juga merupakan faktor-faktor penting. Pertumbuhan vegetatif optimum adalah pada suhu 20-22 derajat C, sedangkan pada saat pertumbuhan tubuh buah memerlukan suhu optimum yang bervariasi bergantung pada speciesnya. Strain dingin dapat menghasilkan tubuh buah dengan baik pada suhu 12-18 derajat C dan Strain pada suhu 20-22 derajat C. Shiitake membutuhkan kadar oksigen lebih tinggi pada saat pembentukan tubuh buah dibandingkan dengan tahap pertumbuhan vegetatif miselium. Itulah sebanya pada log-log plastik (polybag) yang telah terjadi pertumbuhan miselium vegetatif harus dibuka pada saat yang tepat. Hal ini akan mempengaruhi penguapan air dari dalam polybag yang tidak diinginkan. Untuk mengulangi penyiraman dilakukan dengan air kran. Jamur membutuhkan cahaya pada fase pertumbuhan generatif atau akhir pertumbuhan vegetatif. Cahaya terutama berperan dalam proses perangsangan terbentuknya tubuh buah.
Cahaya yang diperlukan yaitu cahaya biru sampai mendekati ultra violet. Intensitas cahaya dianggap cukup apabila dalam ruangan, kita dapat membaca koran dengan jarak satu lengan antara koran dengan mata. Pertumbuhan miselium vegetatif umumnya lebih cepat di dalam log dengan posisi vertikal. Ini menandakan adanya pengaruh gaya gravitasi terhadap pertumbuhan miselium vegetatif. Log dipelihara sampai terbentuk lapisan miselium yang mengeras pada permukaan log. Setelah itu akan muncul benjolan-benjolan dengan ukuran yang bervariasi yang tampak menyembul ke permukaan log. Pada saat itu tutup kapas mulai diperlonggar untuk membantu sirkulasi udara yang membantu pigmentasi. Kemudian akan diikuti dengan pembentukan warna kecoklatan yakni suatu tanda pigmentasi. Setelah pigmen terbentuk tutup kapas dibuka sepenuhnya. Lapisan miselium yang berwarna kecoklatan ini kemudian mengeras dalam waktu sekitar 30 hari seperti kulit batang. Respon ini biasanya berkaitan dengan upaya jamur untuk mengurangi penguapan air dari log. Kadar air di dalam log akan tetap tinggi di luar relatif kering. Kulit inilah yang berperan sebagai pelindung miselium di dalam log dari proses penguapan dan serangan jamur liar. Pada saat inilah, proses pembuahan sudah mulai disiapkan dengan memberikan rangsangan fisik berupa suhu dingin dan kadar air yang berlimpah, dengan cara meredam log jamur dalam air selama beberapa jam sampai semalaman dengan suhu sekitar 15 derajat C. Setelah proses perangsangan selesai, log disimpan kembali ke rak pemeliharaan. Pemeliharaan selanjutnya sangat ditentukan dari pengaturan kadar oksigen dan kelembaban udaraPengaturan kadar oksigen dapat dilakukan dengan membuka jendela ventilasi pada saat kelembaban udara di luar tinggi. Pengaturan kelembaban dapat dilakukan dengan cara penyiraman dengan air secara berkala terutama kalau kelembaban udara di luar rendah (biasanya siang hari). Kadar CO2, yang diperbolehkan dalam ruang pemeliharaan adalah berkisar antara 1200-1500 ppm. Proses pemeilharaan ini menjadi sangat penting dalam upaya mencapai keberhasilan dalam budidaya jamur shiitake sehingga bisa diperoleh hasil yang optimal yang mendatangkan keuntungann yang lebih besar.

Jamur Tiram

Jamur tiram termasuk jamur kayu yang telah banyak dibudidayakan. Jamur tiram ini termasuk dalam kerajaan Fungi, dengan filum Basidiomycota, kelas Homobasidiomycetes, ordo Agaricales, famili Tricholomataceae, genus Pleurotus dan nama spesiesnya Pleurotus ostreatus Tudungnya berwarna hitam lembayung sampai kecoklatan. Bentuknya menyerupai kukit kerang dengan diameter 6-14 cm. Permukaan tudung licin dan mengkilap. Bilah berwarna puti krem atau putih gading. Susunan bilahnya agak rapat. Sewaktu muda bilahnya berwarna putih, makin tua menjadi krem kekuningan. Batangnya lateral (terletak disamping tudung). Ukurannya sanat pendek sekitar 1-3 cm). Warnaya putih dengan permukaan halus. Daging buahnya berwarna krem pucat. Jamur ini hidup baik pada kisaran suhu tingga sekitar 25-30 °C. Budidaya Jamur Tiram Budidaya jamur tiram dapat digunakan substrat selain kayu misalnnya serbuk gergaji, ampas tebu atau sekam. Hal yang perlu diperhatikan dalam budi daya jamur tiram adalah faktor ketinggian dan persnyarataan lingkungan, sumber bahab baku untuk substrat tanam dan sumber bibit. Persiapan yang dilakukan meliputi tahap: • Penyiapan bangunan. Bentuk dan ukuran bangunan disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk kebutuhan sekitar 500 – 1.000 buah log diperlukan bangunan dengan ukuran 6mx 4m x 4m. Bahan yang diperlukan berupa tiang, kaso dan sebagainya terbuat dari bambu atau kayu yang telah diawetkan. • Pemeliharaan substart tanam harus memperhatikan faktor lingkungan. Selama pertumbuhan bibit (serat/miselia seperti benang kapas), temperatur diatur antara 28-30oC. Sementara untuk pertumbuhan tubuh buah jamur sampai panen, temperatur diatur antara 26-28oC. Selama pertumbuhan bibit dan pertumbuhan tubuh buah, kelembaban udara diatur sekitar 90% karena kalau kurnag maka substrat tanam akan mengering. Agar kelembababan terjamin, lantai ruangan sebaiknya disiram air bersih pada pagi dan sore hari. Kehadiran jamur asing yang merugikan ditandai dengan tumbuhnya serat/miselia jamur berwarna, misalnya hitam, biru coklat kuning. Bila hal ini terjadi., segera jamur dipisahkan ke luar ruangan dan cepat dibakar. Pertumbuhan tubuh buah awal umumnya ditandai dengan adanya bintik-0bintik serat berwarna putih yang main lama makin membesar dan setelah selang beberapa hari akan tumbuh jamur kecil. Bila kondisi sudah seperti ini, tutup kapad san leher pralon segera dipisahkan dari substrat tanam. Apabila substrat tanam dusah menghasilkan jamur sangat sedikit atau kecil-kecil, segera diganti secara keseluruhan dengan yang baru. Selang waktu antara penanaman pertama ke penanaman berikutnya misalnya 2–3 minggu digunakan untuk membersihkan ruangan, rak dan peralatan lainnya. Budi daya jamur tiram dapat dilakukan dalam bentuk gantung. Caranya substrat tanam diberi kayu atau bambu dibagian tenganhanya. kemudian digantungkan di tempat teduh. Manfaat & Kandungan Jamur Tiram Jamur ini terkenal dengan rasa lezat dan aromanya tajam seperti merica. kandungan gizinya tinggi: protein sekitar 10 – 30%, vitamin C36 –58 mg/100 gram (kondisi kering, vitamin B2 4.7 – 4.9 mg/100g. Menu masakan seperti nasi goreng jamur dan panggang jamur sering menggunakan bahan jamur tiram. Jamur tiram selain dapat disayur, juga dapat diolah menjadi makanan lain misalnya kerupuk, keripik atau dengan nama lain tiram crip atau tiram chips. Jamur tiram juga populer sebagai masakah sup dan pepes. Kandungan nutrisi jamur tiram tersusun atas kadar air 92,2%, lemak 1,1, Karbohidrat total 59,2, serat 12, abu 9,1 dan nilai energi 261. Dari hasil penelitian, jamur yang biasa kita makan rata-rata mengandung 14-35 persen protein. Dibandingkan dengan beras (7,38 persen) dan gandum (13,2 persen), jamur berkadar protein lebih tinggi. Asam amino esensial yang terdapat pada jamur ada sembilan jenis dari total 20 jenis yang kita kenal yaitu lysin, methionin, tryphtofan, theonin, valin, leusin, isoleusin, histidin, dan fenilalanin. Sedangkan kalori yang dikandung jamur adalah 100 kj/100 gram dengan 72 persen lemak tak jenuh. Jamur juga kaya akan vitamin, di antaranya B1 (thiamin), B2 (riboflavin), niasin, dan biotin. Untuk mineral, jamur mengandung K, P, Fe, Ca, Na, Mg, Mn, Zn, dan Cu. Serat jamur sangat baik untuk pencernaan. Kandungan seratnya mencapai 7,4- 24,6 persen sehingga cocok untuk para pelaku diet. Menurut hasil riset di Massachusetts University, AS, riboflavin, asam nicotinat, panthotenat, dan biotin (Vit B) yang ada pada jamur masih terpelihara dengan baik meskipun jamur telah dimasak. Senada dengan penelitian tersebut, secara spesifik, Beta Glucan Health Center mengatakan bahwa jamur tiram yang bernama latin Pleurotus ostreatus atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai oyster mushroom mengandung senyawa pleuran yang berkhasiat sebagai antitumor, menurunkan kolesterol, serta bertindak sebagai antioksidan. Jamur tiram, di Jepang disebut sebahai hiratake, mengandung protein 19-30 persen, karbohidrat 50-60 persen, asam amino, vitamin B1, B2, B3, B5, B7, C, mineral Ca, Fe, Mg, K, P, S, dan Zn. Menurut penelitian, kandungan logam yang ada pada jamur masih jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan Fruit Product Order and Prevention of Food Adulteration Act tahun 1954, sehingga aman untuk dikonsumsi. Dari penelitian yang dilakukan Ujagar Group (India) juga dikatakan bahwa jamur tiram memiliki nilai nutrisi yang sangat bagus, di mana 100 persen sayuran mengandung protein tinggi, kaya vitamin, mineral, rendah karbohidrat, lemak, dan kalori. Selain itu, bagus untuk liver, pasien diabetes, menurunkan berat badan, seratnya membantu pencernaan, antiviral (antivirus), dan antikanker. Nilai tambah lainnya, jamur mudah dimasak dan dicerna dengan rasa yang enak pula. Dari penelitian lain yang dilakukan Departemen Sains Kementerian Industri Thailand, didapat hasil tentang jamur tiram yang mengandung protein 5,94 persen, karbohidrat 50,59 persen, serat 1,56 persen, lemak 0,17 persen. Untuk tiap 100 gram jamur tiram segar mengandung 45,65 kj kalori; 8,9 mg kalsium; 1,9 mg besi; 17,0 mg fosfor; 0,15 mg vitamin B1; 0,75 mg Vit B2; dan 12,40 mg Vitamin C. Selain itu, jamur tiram juga mengandung asam folat yang cukup tinggi dan terbukti ampuh menyembuhkan anemia. Dibandingkan dengan daging ayam yang kadungan proteinnya 18,2 gram, lemaknya 25,0 gram, namun karbohidratnya 0,0 gram, dan vitamin Cnya 0,0 gram, kandungan gizi jamur masih lebih komplet. Sehingga tidak salah apabila dikatakan jamur merupakan bahan pangan masa depan. Hasil dari penelitian Bobek (1999) dari Research Institute of Nutrition Bratislava tentang Natural Product with Hypolipemic and Antioxidant Effect, telah dilakukan studi pada sebuah grup dengan 57 laki-laki : perempuan = 1:1, usia setengah umur dengan kasus hyperlipoproteinemia. Selama 1 bulan mereka mengonsumsi 10 gram jamur tiram secara teratur. Kesimpulannya, secara statistik sangat menjanjikan yakni kolesterol dan serum turun 12,6 persen dan trigliserol turun 27,2 persen. Jamur tiram dikatakan mempunyai efek antioksidan dengan turunnya peroksidasi di dalam eritrosit. Beta-D-glucans Sejak tahun 1960, para peneliti jamur telah melakukan riset berbagai khasiat jamur. Beberapa tahun terakhir diketahui adanya polisakarida, khususnya Beta-D-glucans yang mempunyai efek positif sebagai antitumor, antikanker, antivirus (termasuk AIDS), melawan kolesterol, antijamur, antibakteri, dan dapat meningkatkan sistem imun. Pada jamur tiram, produk ini disebut sebagai plovastin yang di pasaran dikenal sebagai suplemen penurun kolesterol (komponen aktifnya statin yang baik untuk menghambat metabolisme kolesterol di dalam tubuh manusia). Beta-D-glucans yang ada pada jamur tiram bisa juga diisolasi untuk digunakan dan dicampur pada krim, salep, suspensi, atau bedak untuk perawatan wajah. Formulasi ini sudah digunakan pada perusahaan kosmetik, (Estee Lauder, Clinique), di mana konsentrasinya 0,5-2 persen. Mekanismenya adalah dengan cara mengikat air sehingga kulit menjadi lembap dan sebagai antiinflamasi. Percobaan terhadap 121 pasien berjerawat kronis, diberikan setiap hari selama 21 hari, hasilnya 73,5 persen kondisinya membaik, 18,2 persen sembuh total. Masa Panen Jamur Tiram Jamur dipanen, bekas batang jamur dibersihkan dari substrat tanam karena kalu batang ini masih tersisi akan membusuk dan merugikan. Lembar kantong plastik diturunkan ke bawah agar jamur tumbuh lagi. Tergantung pada kandungan substrat tanam, bibit jamur, serta lingkungan selama pemeliharaa, pemanenan jamur dapat dilakukan antara 4 – 8 kali dan jumlah jamur yang dipanen permusim dapat mencapai 600 g, sedangkan berat substrat tanam adalah 1 kg. Dengan nilai REB (Rasio efisinensi biologi adalah 60. Semakin tinggi nilai REB, semakin baik budi daya jamur tersebut. Aspek Pemasaran Jamur Tiram Seringkali dipasarkan dalam bentuk awetan dalam kaleng. Jamur tiram belum ada yang diekspor utuh secara segar tetapi umumnyadalam bentuk olahan seperti chips atau crispy. Dipasar setempat, jamur tiram umum dijual tidak dalam bentuk kemasan, melainkan dalam takaran 100 g atau 1 kg. Jamur tiram yang telah berlendir dibagian luar tudungnya sebaiknya tidak dikonsumsi karena kemungkinan besar sudah mulai membusuk oleh bakteri pembusuk. Pangsa pasar untuk produk budi daya jamur tiram terbuka lebar, di samping kebutuhan konsumen setempat setiap hari.

Tuesday, August 23, 2011

INTERAKSI KEBAKARAN DAN PENYEBARAN PENYAKIT (Studi Kasus Hutan Pinus di Pedalaman Bagian Barat Amerika Serikat dan Kanada)


Interactions among fire, insects and pathogens in coniferous forests of the interior western United States and Canada

Oleh: Rifa’ Atunnisa, S.Hut

     A.   PENDAHULUAN
Kebakaran berskala besar sekaligus menghasilkan dampak negatif bagi lingkungan telah menambah masalah di Indonesia, negara-negara tetangga, bahkan dimanca negara sekaligus. Sebagai contoh kejadian kebakaran hebat di Indonesia yang terjadi saat kemarau panjang (El Nino) tahun 1992/1993, 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998 (Dennis 1999). Begitu pula pada kejadian pada  hutan Pinus di pedalaman bagian barat Amerika Sekrikat dan Kanada disebutkan jika pemulihan kondisi alam akibat kerusakan karena kebakaran, hama hutan, dan penyakit hutan berlangsung selama ribuan tauan untuk menciptakan dan memperbaiki kondisi hutannya dengan munculnya pohon pionir Pinus (Parker et al. 2006). Pengendalian kerusakan hutan sangat perlu dilakukan mengingat hutanmerupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainny. Pengendalian kerusakan hutan ini dapat dilakukan melalui kegiatan perlindungan hutan, yaitu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
            Kerusakan yang terjadi di dalam hutan atau kawasan hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor pengganggu, diantaranya adalah kebakaran hutan, hama, penyakit dan penggembalaan. Antar faktor penyebab gangguan hutan ini memiliki hubungan sebab akibat. Dalam makalah ini akan disampaikan pembahasan mengenai hubungan antara faktor pengganggu yaitu terjadinya kebakaran, serangga, dan patogen studi kasus pada hutan Pinus di pedalaman bagian barat Amerika Serikat dan Kanada.
B.               PEMBAHASAN
Kejadian kebakaran, adanya serangga dan patogen merupakan komponen alami yang secara terintegrasi menjadi bagian yang penting pada hutan di Amerika bagian Utara (Martin 1989). Upaya pengembalian hutan akibat kerusakan yang diakibatkan oleh komponen tersebut, dengan melibatkan ketiga komponen tersebut merupakan hal penting untuk mengembalikan kondisi hutan pada daerah tersebut. Kombinasi dari dampak kebakaran, kompetisi untuk mendapatkan sinar matahari dan air, kemudian serangga alami hutan, dan patogen memiliki hubungan selama ribuan tahun untuk menciptakan hutan yang didominasi oleh spesies pioner pinus. Meskipun adanya perubahan kondisi hutan akibat kebakaran dan ualah dari kegiatan manusia seperti penggembalaan ternak, praktek pengelolaan hutan yang menebang diluar batas kemampuan hutan, perladangan, dan kejadian perubahan iklim dalam akhir dekade ini merubah pokok dari interaksi ini bahwa sejak kebakaran menjadi kejadian penyebab kerusakan hutan yang paling dominan di hutan bagian barat dunia, kunci untuk menjaga fungsi ekosistem hutan adalah selamanya dengan menjaga keterkaitan hubungan antara kebakaran, kegiatan manajemen, serangga dan penyakit (McDonald et al. 2000).

B.1     Kebakaran, Akar Lapuk dan Kumbang
Tegakan pinus (Pinus contorta Dough. Ex.Loud.) sangat rentan terjadinya siklus kerusakan yang diawali dengan adanya patogen yang menyebabkan pelapukan sehingga mengakibatkan kematian pada pohon. Setelah pohon mati, kemudian diserang oleh kumbang, dan oleh kumbang ini lah patogen pelapuk kayu disebarkan kepada pohon-pohon yang masih sehat. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan ketersediaan bahan bakar dan rentan terhadap kejadian kebakaran. Siklus ini terus berlangsung yaitu adanya patogen penyebab penyakit penyakit, pelapukan, serangan kumbang dan meningkatnya ketersediaan bahan bakar. Salah satu jenis dari kumbang pada tanaman Pinus ini adalah Dendroctonus ponderosae Hopkins yang diketahui menyerang kulit kayu lebih banyak pada tanaman yang sudah terinfeksi patogen pelapuk daripada tanaman yang tidak terinfeksi patogen pelapuk.
B.2  Serangga sebagai Vektor atau Pembawa Patogen Setelah Kebakaran
Serangga menyebarkan jamur kepada pohon-pohon sisa akibat kebaran di banyak ekosistem hutan bagaian barat dunia (western forest). Sebagai contoh, Piirto et al. (1998) menyebutkan bahwa jamur jenis Tritrachium sp lebih banyak menyerang pohon yang terbakar daripada pohon yang tidak terbakar. Sebagaian besar kumbang membawa jamur pelapuk. Serangga dapat membawa spora dari jamur yang menyebabkan penyakit black stain root pada pohon-pohon yang terbakar.

B.3     Interaksi Antara Kebakaran dan Patogen
Terdapat banyak contoh bahwa beberapa spesies pohon-pohon yang ada di hutan bagian barat (western), dalam hal ini lebih banyak pada jenis-jenis pinus, melalui kejadian kebakaran menyebabkan kerentanan pohon terkena patogen. Littke (1986) menyebutkan bahwa dalam studinya sekitar 70% dari pohon-pohon yang tertekan karena api atau kebakaran mengalami kerusakan akar akibat kebakaran. Setelah 6 tahun dari kejadian kebakaran, diserang oleh jamur pelapuk termasuk diantaranya Perenniporia subacida yang menyebabkan yellow root rot, Heterobasidion annosum (penyakit akar annosus), Lentinus lepideus (Lentinus butt rot) dan Sistotrema brinkmannii.

C.               Kesimpulan
Upaya pengembalian hutan akibat kerusakan yang diakibatkan oleh komponen kebakaran, serangga, dan patogent, dengan melibatkan ketiga komponen tersebut merupakan hal penting untuk mengembalikan kondisi hutan pada daerah hutan pinus di pedalaman bagian barat Amerika Serikat dan Kanada. Pembelajaran mengenai interaksi dari ketiga komponen ini menjadi penting dalam menentukan konsep menejemen restorasi yang efektif dan efisien terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang muncul.



DAFTAR  PUSTAKA

Dennis, R.A. 1999. A review of fire projects in Indonesia 1982 - 1998. Center for International Forestry Research.Bogor.

Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Littke , W . R . & Gara , R . I . 1986  Decay of fire-damaged lodgepole pine in south-central Oregon . Forest Ecology and Management , 17 , 279 – 287 .

McDonald , G . I . , Harvey , A . E . & Tonn , J . R . 2000 Fire, competition and forest pests: landscape treatment to sustain ecosystem function.Crossing the Millennium: Integrating Spatial Technologies and Ecological Principles for a New Age in Fire Management. Proceedings from the Joint Fire Conference and Workshop, 2 ( ed. by L . F . Neuenschwander and K . C . Ryan ), pp . 195 – 211 . University of Idaho and the International Association of Wildland Fire , Moscow, Idaho .

Martin , R . 1989  Interaction among fire, arthropods, and diseases in a healthy forest. Healthy Forests, Healthy World . Proceedings of the 1988 Society of American Foresters National Convention , pp . 87 – 91 . Society of American Foresters , Bethesda, Maryland .

Parker et al. 2006. Interaction Among Fire, Insect, and Pathogens in Conifeous Forest  of  The Interior Western United State and Kanada. Agricultural and Forest Entomology Journal: 167-189.

Piirto , D . D . , Parmeter , J . R . , Cobb , F . W . Jr , Piper , K . L . , Workinger , A . C . & Otrosina , W . J . 1998  Biological and management implications of fire – pathogen interactions in the giant sequoia ecosystem . Proceedings of the 20th Tall Timbers Fire Ecology Conference Fire in Ecosystem Management: Shifting the Paradigm from Suppression to Prescription , pp . 325 – 336 . Tall Timbers Research Station , Tallahassee, Florida .

POHON SEHAT SEBAGAI SYARAT OPTIMASI PERTUMBUHAN


The Health Tree As Require For Optimizing Growth
Oleh: Rifa’ Atunnisa, S.Hut

Pohon dalam hal ini tumbuhan dikatakan sehat atau normal, apabila tumbuhan tersebut dapat melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensi genetik terbaik yang dimilikinya. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya mencakup pembelahan, diferensiasi dan perkembangan sel yang normal, penyerapan air dan mineral dari tanah dan mentranslokasikannya ke seluruh bagian tumbuhan; fotosintesis dan translokasi hasil-hasil fotosintesis ke tempat-tempat penggunaan dan penyimpanan persediaan makanan untuk reproduksi (Yunasfi 2002).
Pertumbuhan dan hasil tumbuhan tersebut bergantung pada dua faktor yaitu faktor dari dalam yaitu internal dan faktor dari luar yang sering kita sebut eksternal. Faktor internal dapat dikatakan menjadi dasar kemampuan suatu tanaman dapat tumbuh dan berkembang. Faktor ini dapat dikaitkan dengan kemampuan genetiknya yang akan berpengaruh terhadap kemampuan tanaman tersebut untuk tumbuh dalam lingkungan tertentu (Daniel 1987).  Faktor dari luar dapat dijabarkan yaitu ketersediaan hara dan air di dalam tanah tempat tumbuhan tersebut tubuh, dan pada pemeliharaan dalam kisaran faktor-faktor lingkungan tertentu, seperti suhu, kelembaban dan cahaya. Sesuatu yang mempengaruhi kesehatan tumbuhan berkemungkinan besar akan mempengaruhi pertumbuhan dan kemampuan produksinya., dan akan dapat menurunkan kegunaannya bagi manusia. Patogen tumbuhan, cuaca yang tidak menguntungkan, gulma dan serangga hama adalah penyebab yanga sangat umum dalam menurunkan pertumbuhan dan produksi tumbuhan. Oleh karena itu ilmu genetika hutan dan fisiologi pohon bersama-sama membentuk landasan terpadu yang penting bagi optimasi pertumbuhan tanaman yang sehat.
            Apabila tumbuhan diganggu oleh patogen, hama atau oleh keadaan lingkungan tertentu dan salah satu atau lebih dari fungsi-fungsi fisiologis tersebut terganggu sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dari keadaan normal, maka tumbuhan dapat menjadi sakit. Proses-proses fisiologis pada tanaman mengontrol kuantitas neto makanan yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman, gerakan bahan organik dan anorganik dalam tanaman, dan vigor relatif tanaman dalam arti status air dan haranya. Karena itu kecepatan dan dan lama proses pokok fisiologis sangat mencirikan kemampuan relatif tumbuhan untuk berkembang dalam lingkungannya.Karena kita berhubungan dengan pohon-pohon yang berumur panjang dan periode pengelolaan yang mencakup beberapa dasawarsa, maka kita perlu mengevaluasi proses fisiologis dengan terus menurus.

Pohon Resisten Terhadap Hama dan Penyakit
Menutut  Husaeni (2002), salah satu cara mengurangi ketergantungan pemakaian pestisida adalah penanaman varietas, kultivar, atau klon tanaman resisten. Konsep penggunaan tanaman resisten dalam pengendalian hama dan penyakit berasal dari pengetahuan bahwa kebanyakan pohon adalah resisten terhadap hama dan penyakit yang menyerangnya. Sifat-sifat fisiologis, morfologis, dan atau perilaku yang dimiliki suatu organisme membentuk inti pertahanan terhadap organisme lain yang akan menyeranya (Hardi 2007). Sistem pertahanan ini merupakan hasil dari seleksi alam. Resistensi pohon terhadap hama dan penyakit adalah setiap sifat tanaman yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi pengaruh serangan hama dan penyakit tersebut. Sifat-sifat yang demikian merupakan corak pre-adaptif yang memungkinkan kesempatan pohon tersebut untuk terus hidup dan berkembang biak.

Kesimpulan
Bertolak dari pengertian tanaman sehat adalah tanaman tersebut dapat melaksanakan fungsi-fungsi fisiologisnya sesuai dengan potensi genetik terbaik yang dimilikinya maka ada dua unsur penting yang dapat di simpulkan yaitu pentingnya unsur genetic yang unggul dan manipulasi terhadap faktor lingkungan agar suatu tanaman dapat secara optimum melakukan proses fisiologisnya sehingga terkatagori sebagai tanaman sehat, dan pada akhirnya tercapai pertumbuhan yang maksimal.


DAFTAR PUSTAKA

Daniel, W dan Helms,  J. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur. (Ed. Soesono). Yogyakarta: UGM Press.

Hardi,T dan Darwiati, W. Resistensi Tanaman Terhadap Serangga Hama. Mitra Hutan Tanaman: Vol.2 No.1 15-21.

Husaeni,E.A. 2002. Resistensi Pohon Terhadap Hama. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.

Yunafsi. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.


Implementation of Forest Protection at Forest Industry in Pest Aspect

PENERAPAN PERLINDUNGAN HUTAN
PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI DARI ASPEK GANGGUAN HAMA

Oleh: Rifa’Atunnisa, S.Hut

A.               Latar Belakang
Sesuai dengan mandat UU No.41 Tahun 1999 mengenai pembagian hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan dalam pasal 6 dan penetapan hutan berdasarkan fungsi pokok yang dijelaskan pada pasal 6 ayat 2 salah satunya adalah penetapan hutan produksi. Dalam pengelolaan hutan produksi dapat dibangun Hutan Tanaman Industri sesuai dengan kriteria dan peraturan perundangan  yang berlaku. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah usaha hutan tanaman untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur sesuai dengan tapaknya (satu atau lebih sistem silvikultur) dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan kayu maupun non kayu (Dephut 2009). Dalam pelaksanaan pembangunan HTI yang kecenderungannya adalah homogen atau monokultur, menyebabkan banyak ditemui permasalahan-permasalahan yang menjadi penyebab menunnya jumlah produksi.  Permasalahan seperti hama, penyakit dan gulma merupakan beberapa permasalahan yang sering ditemui di pertanaman HTI. Selain dapat menyebabkan penurunan produksi juga dapat menyebabkan penurunan kualitas produk akhir yang dihasilkan. Oleh karenanya perlindungan hutan terhadap gangguan-gangguan hutan tersebut mutlak diperlukan untuk kelestarian hasil produksi.

B.               Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut 2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas. Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan silvikultur memerlukan waktu panjang, tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni 2009).
Perlindungan hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab potensil (Sumardi dan Widyastuti  2004).

C.               Gangguan Hama
Dikatakan sebagai hama hutan apabila serangga dan hewan menimbulkan kerusakan ekonomis yaitu terjadi kerusakan pada pohon-pohon di hutan yang menjadi makanan atau tempat tinggalnya sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi bagi pemilik atau pengelola hutan. Hama hutan tidak hanya terdiri dari hewan serangga saja melainkan termasuk tikus, nematoda dan berbagai satwa lainnya. Pengusahaan HTI memungkinkan terjadinya perubahan keadaan alam yang ada menjadi suatu hutan yang diintervensi oleh manusia secara intensif atau merupakan hutan buatan manusia (man made forest). Hutan buatan manusia ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Berbeda dengan hutan alam yang telah mencapai klimaks, keseimbangan populasi serangga dan hewan telah mencapai dinamika yang hampir stabil sehingga kemungkinan terdapanya hama sangat kecil bahkan mungkin tidak ada.
            Hutan dengan komunitas ciptaan manusia ini dapat menimbulkan kerugian dengan kemungkinan yang ada yaitu kemungkinan yang pertama jika ternyata komunitas buatan ini akan merugikan populasi serangga dan hewan maka sangat mungkin akan berpindah ke tempat lain atau bahkan akan mengalami kepunahan, atau kemungkinan kedua jika populasi serangga dan hewan menyukai komunitas yang baru ini memungkinkan populasi serangga dan hewan dapat naek dengan cepat (Yunafsi 2007).
            Sesuai dengan hukum ekologi yang berlaku pada HTI, semakin rendah diversity atau keanekaragaman suatu areal maka keadaan areal tersebut akan makin labil. Keadaan labil ini dapat diartikan sebagai keadaan yang mudah menyebabkan melesaknya populasi hama.

D.          Hama Jenis-Jenis Tanaman HTI (Studi Kasus PT. RAPP)
Berdasarkan studi kasus di PT.RAPP yang berlokasi di Riau dan Kalimantan dimana tanamanannya adalah Acacia mangium, Eucalyptus sp., dan  Acacia crassicarpa beberapa hama yang dominan adalah (Budi 2011):
1.             Rayap (Coptotermes sp.)
2.             Ulat-ulat pada filodia Akasia
3.             Ulat (Lepidoptera) penggulung daun Eukaliptus
4.             Kutu daun (Aphids)
5.             Kutu kebul (Whiteflies)
6.             Ulat di Pembibitan A. Mangium
7.             Ulat Grayak (Spodoptera litura) di pembibitan A. crassicarpa
8.             Jangkrik dan Belalang (Orthoptera) yang menyerang akasia muda
9.             Serangan Helopeltis pada A. Mangium
10.         Serangan Lundi pada Eukaliptus muda
11.         Ulat kantung di HTI Akasia
Kesemuanya ini menyebabkan terganggunya proses fisiologis pada tanaman. Serangan Lundi pada eukaliptus muda diketahui menyebabkan pertumbuhan pohon lamban bahkan sampai mati, kehilangan akar rambut dan kulit akar primer
Kebanyakan kerusakan terjadi dalam kurun waktu 6 bulan setelah tanam, kematian dapat mencapai lebih dari 50% di area beresiko tinggi (Area dengan tanah berpasir,sedikit gulma dan dekat green belt.


E.               Pengelolaan Hama Terpadu di HTI
Kegiatan pengendalian hama dimulai sejak kegiatan perencanaan samapai tahap pemanenan. Pengendalian hama dapat diartikan sebagai tindakan pengaturan atau pembatasan populasi hama agar tidak menimbulkan kerusakan yang merugikan secara ekonomis, sosialatau ekologias. Dalam pengembangannya pengendalian hama terpadu atau dikenal dengan istilah Integrated Pest Management (IPM) yang mengkombinasikan teknik-teknik pengelolaan sehingga dapat saling melengkapi antara teknik yang satu dengan teknik yang lain. Pada dasarnya kegiatan pengendalian hama terpadu di PT. RAPP dapat dikelompokkan menjadi:
1.                  Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat meliputi pemilihan jenis pohon yang memiliki tingkat ketahanan relatif tinggi terhadap hama. Pemikihan lokasi tanam, sistem silvikultur yang tepat, pengelolaan nursery yang baik dan sehat, kemudian pengelolaan tegakan yang optimum akan berdampak pada vigor tanaman dan ketahanan terhadap hama.
2.                  Pengamatan
Pengamatan rutin digunakan dalam memantau perkiraan dampak sehingga dapat digunakan dalam acuan menentukan ambang ekonomi sehingga nantinya diharapkan jika terjadi serangan akan dihasilkan suatu keputusan atau kebijakan penanganan yang tepat. Selain itu perlunya mempelajari ekologi hama baik mekanisme dan dampak serangan sehingga meminimalkan resiko kegagalan saat keputusan pengendalian telah titetapkan.
3.                  Pengendalian
Dari serangkaian kegiatan pencegahan dan pengamatan maka yang terakhir berupa tindakan pengendalian dimana dapat dikatagorikan macam-macam pengendalian yaitu pengendalian fisik dan sanitasi, pengendalian hayati, dan pengendalian kimia. Kegitan percobaab pengendalian hama penyakit terpadu dilakukan untuk meminimalkan resiko kegagalan.

F.           Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dapat diartikan sebagai tindakan membatasi populasi hama dengan menggunakan agen hayati. Studi kasus di PT. RAPP pengendalian hayati dilakukan salah satunya dengan penggunaan Sycanus sp. Atau kepik pembunuh. Sycanus sp. (Hemiptera;Reduviidae) adalah predator yang ganas dan mendapat julukan sebagai ”assassin bugs”. Serangga ini membunuh mangsa lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk makan. Serangga ini selain dimanfaatkan di kebun sawit, kini juga digunakan di HTI Akasia dan Eukaliptus. Pada aplikasi serangga Sycanus sp. Di RAPP diketahui bahwa:
1.      Populasi Holopeltis menurun dari 7/pohon menjadi 1/pohon dan kerusakan menurun dari 30%menjadi 10% dalam waktu 3 bulan setelah Sycanus dilepas di compartement A.mangium
2.      Keparahan serangan penggulung daun menurun dari 60% menjadi 10% di satu compartement Mallaleuca lainnya
Selain aplikasi Sycanus sp. Digunakan pula tanaman Turnera spp. Yaitu bunga pukul delapan sebagai habitat serangga berguna terutama serangga parasitoid.

G.         Kesimpulan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya hutan tanaman dibangun dalam rangka meningkatkan potensi kualitas hutan produksi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pencegahan dan monitoring dalam rangka pengendalian hama terpadu mutlak dilakuakan untuk mengurangi atau meniadakan serangan hama.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 2004. Peratutan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutam. Himpunan Peraruran Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2009. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman. Jakarta.

Mappatoba Sila dan Nuraeni. 2009. Buku Ajar Perlindungan dan Pengaman Hutan, Laboratorium Perlindungan dan Serangga Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Makasar.

Tjahjono Budi. 2011. Penerapan Multisistem Silvikultur Ditinjau dari Aspek Hama. Seminar Nasional Pelestarian Hutan Indonesia dan Keanekaragaman Hayatinya dalam Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global. Bogor.

Yunafsi. 2007. Permasalahan Hama, Penyakit dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha Pengendaliannya. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Medan.


Friday, July 1, 2011

Study on Trypsin Inhibitor in Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Trees, of Kediri, Solomon and Subang Provenances

Studi Tripsin Inhibitor Pada Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Provenan Kediri, Solomon dan Subang

Yauvina1 dan Ulfah Juniarti Siregar1

1Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

ABSTRACT
One species frequently used for establishment of forest plantation in Indonesia is Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen), because of fast growing habit and its timber can be used for many purposes. Monoculture sengon plantation, however, greatly suffers from stem borer, known as boktor (Xystrocera festiva Pascoe, Cerambycidae, Coleoptera), which starts attacking 3-4 years old trees. The loss caused by the pest is quite large. In an effort to control the pest it is important to plant resistant trees, which can be obtained through plant breeding activities. For this purpose it is necessary to study the presence of an antagonistic substance, such as Trypsin inhibitors on every part of the tree. The purpose of this study is to determine: 1) different activity level of trypsin inhibitors from the three provenances of Kediri, Solomon, and Subang, 2) different activity level of trypsin inhibitors in the bark and stem from the three provenances, 3) different activity level of trypsin inhibitors on healthy trees compared to heavily infestated by boktor 4). Different trypsin inhibitor activity as tested using synthetic and natural enzymes from the digestive gut of boktor larvae.
The object of this research is sengon tree from provenances of Kediri, Solomon, and Subang, consisted of stem and bark, which are made into powder. Two types of tree were selected, i.e. healthy and severely attacked trees. Observation of trypsin inhibitor activity was carried out using the synthetic substrate benzoyl-DL-arginine-p-nitroanilid (BAPNA), a trypsin synthetic enzyme (SIGMA 3.5 U / mg) and natural enzymes from the digestive tract of boktor larvae, size 1.5 cm. Data were analyzed in a Complete Randomized Factorial Design (CRFD) with three factors, i.e. provenances, conditions of the tree, and tree tissues, using SPSS 18.0 software.
Analysis of variance showed that provenance factors did not significantly affect the activity of trypsin inhibitors. Different tissues and tree conditions, however, have highly significant influence on the activity of trypsin inhibitor when tested using synthetic enzymes. Trees with healthy condition has higher trypsin inhibitor activity than severely attacked trees. Meanwhile the bark has higher trypsin inhibitor activity than the stem.
Results of analysis of variance using natural enzymes showed that the provenance and condition of the trees had no significant effect. The results also showed that trypsin inhibitor activity, when tested using the synthetic enzyme, is greater compared to that of natural enzymes from the digestive tract of boktor larvae.

Keywords : Enzim trypsin, inhibitor

Screening of Lignoselulolitic Fungi Origin from Tropical Forest of Indonesia

Skrining Jamur Lignoselulolitik Asal
 Hutan Tropika Indonesia
Fajar Harisma1, Cecep Kusmana1, Irnayuli R. Sitepu2

1Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB
2Laboratorium Mikrobiologi Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA)


ABSTRACT
Lignoselulose is a main component of  plant, which is selulose, hemiselulose, lignin and other extractif substance. One of biomass lignoselulose benefit is bioethanol production. Bioethanol is an alcohol compound that achieve from biomass fermentation process with microorganism assist. One of microorganism that can use for ethanol production is fungi. This research aim to studying morfology of fungi that origin from tropical forest of Indonesia, studying the most potential fungi in degradated  lignin and selulose at manure media and determine the most potential fungi in degradated selulose at Carboxy Methyl Cellulose (CMC). This research divide in several stages, that is a first stage is prepare 40 fungi isolate at Potato Dextrose Agar (PDA) media, second stage is selected fungi at manure media, third stage is selected fungi at CMC media as in vitro. Based from research, it result four fungi isolate  that potential to degradated selulose at manure substrate media, that is fungi isolat FORDA CC-467, FORDA CC-468, FORDA CC-469, and FORDA CC-470. From lignin analyse result 11 isolate that potential to degradated lignin and manure substrate, that is FORDA CC-474, FORDA CC-475, FORDA CC-476, FORDA CC-477, FORDA CC-478, FORDA CC-479, FORDA CC-480, FORDA CC-481, FORDA CC-482, FORDA CC-483, and FORDA CC-484. AT CMC media, 33 isolate can degradated selulose that showed with transparent zone creation. From 33 isolate result seven isolate that have distance between micelia and transparent zone, it shows that fungi isolate is the most optimal isolate in created selulase enzim.

Kata kunci: biomassa, CMC, jamur, lignoselulolitik, skrining.

Utilization of Coconut Water for Increasing the Growth of Shoot Cutting of Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.)

Pemanfaatan Air Kelapa untuk Meningkatkan Pertumbuhan Stek Pucuk Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.)

Edje Djamhuri

Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB

ABSTRACT

Coconut water contains gibberelin,  cytokinin and auxin which have potential to stimulate the growth of cuttings.  The objective of this research was learning the effect of application of coconut water,  IBA and NAA on the growth of shoot cuttings of meranti tembaga (Shorea leprosula).  This research was conducted in nursery of Division of  Silviculture, Department of Silviculture,  Faculty of Forestry,  Bogor Agriculture University, for 4 month.  The research used Completely Randomized Design,  comprising 4 treatment, namely control, application of coconut water, IBA of 100 ppm, and NAA of 100 ppm, with three replication, and each replication consisted of 20 shoot cuttings.  Growth parameters of shoot cuttings comprised percentage of survival, percentage of shoot growth, percentage of rooting, and dry weight of roots.  Research result showed that application of coconut water, equivalent with IBA of 100 ppm and NAA of 100 ppm could increase the growth of meranti tembaga (Shorea leprosula) shoot cutting.  Coconut water could be used to stimulate the growth of meranti tembaga shoot cutting as a substitute for IBA of 100 ppm or NAA of 100 ppm.

Key word : Coconut water, IBA, NAA, shoot cutting,Shorea leprosula.